(Kompas Jumat, 5 Oktober 2001)
Ekonofisika merupakan bidang penelitian baru di dalam fisika yang memanfaatkan hukum-hukum serta teori-teori fisika untuk mempelajari dinamika perkembangan sektor-sektor ekonomi. Saking barunya, Physical Review, jurnal fisika ternama di Amerika, mula- mula enggan untuk menerbitkan hasil-hasil penelitian di bidang ini. Baru beberapa tahun yang lalu Physical Review berangsur-angsur berubah pikiran setelah melihat gencarnya publikasi ekonofisika oleh beberapa jurnal fisika lain di Eropa. Bahkan, istilah ekonofisika sendiri belum terlalu baku karena sebagian komunitas ilmiah masih sering menyebut bidang ini sebagai phynance (singkatan dari physics of finance). Namun, istilah ekonofisika terlihat lebih konsisten digunakan jika dibandingkan dengan bidang-bidang lain yang beririsan dengan fisika seperti biofisika, geofisika, astrofisika, atau yang sama sekali tidak berhubungan seperti metafisika. Banyak hal yang membuat fisikawan tertarik pada bidang ini dan merasa tertantang untuk berkiprah, antara lain adalah melimpahnya data kuantitatif di pelbagai sektor ekonomi (dengan frekuensi tinggi) yang nyaris hanya dianalisis dengan statistik konvensional. Perkembangan-perkembangan terbaru di dalam fisika (terutama fisika statistik) serta dukungan teknologi komputer yang semakin canggih telah membantu menghasilkan mekanisme baru untuk menganalisis data tersebut.
Masuknya doktor-doktor fisika ke pasar saham seperti Wall Street serta institusi-institusi finansial lainnya seperti Goldman Sachs, Merrill Lynch atau pun perusahaan-perusahaan asuransi, juga bagaikan roket pendorong bagi kemajuan bidang ini. Betapa tidak, dengan penghasilan per tahun sebesar 100.000 dollar AS untuk pemula dan dapat mencapai setengah juta dollar untuk mereka yang sudah mulai profesional, bidang ini tampak lebih menjanjikan ketimbang harus bersaing dengan ratusan jenius fisika untuk memperebutkan satu dari beberapa gelintir posisi di universitas atau laboratorium penelitian. Namun, bagaimana sebenarnya dua bidang yang sangat berjauhan ini dapat berkolaborasi?
Sejarah menunjukkan bahwa interes di bidang ini sudah dimulai sekitar seratus tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1900 ketika seorang mahasiswa pascasarjana di Universitas Sorborne Paris, Louis Bachelier, menulis tesis doktornya dengan judul Teori Spekulasi. Di dalam tesis tersebut, Bachelier mengajukan model matematik bagi proses penyusunan data yang menggunakan metode stikastik dari keuntungan, laba.
Model Bachelier menggunakan teori gerak Brown, gerak acak partikel di dalam fluida, yang menjelaskan kinerja saham dan memperlihatkan distribusi keuntungan yang berbentuk Gaussian (bentuk seperti lonceng). Meski penelitian-penelitian dewasa ini memperlihatkan penyimpangan yang sangat berarti terhadap model tersebut, ide Bachelier tetap terus digunakan dan bahkan merupakan asumsi dasar dari teori Black-Scholes (suatu model matematis untuk option-pricing yang dikembangkan oleh Fischer Black dan Myron Scholes pada tahun 1973).
Lebih dari 60 tahun kemudian, Benoit Mandelbrot, seorang ahli geometri fractal, melakukan penelitian terhadap harta katun yang diperjualbelikan saat itu dan menemukan fakta menarik yaitu distribusi keuntungan untuk skala waktu yang berbeda memperlihatkan kemiripan atau bentuk yang universal. Penemuan ini menjadi salah satu topik penelitian yang kini gencar-gencarnya dilakukan di Amerika Serikat untuk memprediksi perkembangan harga-harga saham.
Dibandingkan dengan data yang digunakan oleh Mandelbrot saat itu (hanya sekitar 2.000 data) jumlah data yang tersedia saat ini sangat berlimpah. Penelitian yang dilakukan oleh kelompok Universitas Boston dan Institut Teknologi Massachussetts (MIT), misalnya, menggunakan sekitar 40 juta rekaman data harga saham yang diambil untuk selang waktu lima menit dari sekitar 1.000 jenis saham teratas di Amerika. Jumlah ini merupakan angka fantastis yang menjadi daya tarik bagi fisikawan, namun belum seberapa jika dibandingkan dengan jumlah jenis DNA yang telah diteliti dengan teknik yang sama yang mencapai sekitar tiga milyar. Saat ini para ahli biologi telah mengetahui bahwa dari seluruh DNA yang diamati hanya tiga persen saja yang memiliki arti, sisanya sering disebut sebagai junk DNA atau non-coding DNA. Fisikawan dari Universitas Boston menggunakan teknik yang sama untuk mencari sifat-sifat fenomenologis dari junk DNA tersebut.
Fisikawan yang berkecimpung di bidang ekonofisika berharap dapat melokalisasi dan menjelaskan malapetaka ekonomi seperti yang terjadi pada tanggal 19 Oktober 1987 yang sering disebut black Monday, pada saat terjadi penurunan drastis dari saham-saham unggulan di Amerika Serikat.
Bahkan, menurut Eugene Stanley, seorang profesor fisika pada Universitas Boston, hasil-hasil penelitian di bidang ini diharapkan dapat menghindarkan kita dari bencana akibat krisis-krisis moneter seperti yang melanda Indonesia beberapa tahun silam, yang merupakan salah satu contoh fluktuasi dari perkembangan ekonomi. Lebih lanjut, menurutnya, justru fluktuasi tersebutlah yang menjadi daya tarik bagi fisikawan untuk turut aktif di bidang ekonomi, karena fenomena fluktuasi sendiri sering dijumpai di dalam fisika.
Di dalam fisika zat padat, istilah fenomena kritis bukan lagi barang baru. Contohnya, sepotong bahan magnet akan berkurang daya magnetisasinya jika temperaturnya ditingkatkan. Jika temperatur terus ditingkatkan, daya magnetisasinya akan hilang pada satu titik tertentu dan, yang paling penting, pada titik tersebut daya magnetisasi akan turun secara drastis menuju harga nol untuk peningkatan temperatur yang kecil sekali.
Fenomena kritis terjadi karena konstituen-konstituen dari sistem memberikan respons secara kooperatif terhadap gangguan yang kecil sekalipun. Di negara kita, fenomena kritis hampir melanda semua sektor ekonomi pada saat krisis moneter. Contoh yang paling mudah adalah turunnya harga saham saat itu akibat hampir semua pemegang saham secara bersamaan ingin menjual saham yang mereka miliki, atau hampir bangkrutnya BCA akibat semua nasabah secara kooperatif menarik tabungan dan deposito mereka. Studi tentang fenomena kritis ini sudah sangat intensif di bidang fisika zat padat, masalahnya sekarang adalah bagaimana mengaplikasikan teknik-teknik yang sudah dikembangkan tersebut untuk menyelidiki fluktuasi perkembangan ekonomi.
Sedikitnya ada dua pendekatan yang dipakai untuk mempelajari fluktuasi atau dinamika perkembangan sektor-sektor ekonomi, yaitu analisis data dan model ekonofisika. Analisis data dapat juga disebut model fisika statistik karena menggunakan teknik-teknik statistik di dalam fisika. Tentu saja para ekonom sudah tidak asing lagi dengan statistik, namun statistik di dalam fisika memiliki keunikan tersendiri karena metodenya telah dikembangkan lebih dari seratus tahun dan dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena-fenomena alam. Metode yang kedua memanfaatkan model-model fisika yang telah teruji kesuksesannya dan memiliki banyak aplikasi di dunia sains dan teknologi.
Analisis data
Di dalam ilmu fisika, metode statistik (lebih tepat disebut fisika statistik) akan digunakan jika kita berhadapan dengan masalah interaksi antarsub-unit dengan jumlah sangat besar, sementara interaksi individual antarsub-unit itu sendiri sangat sulit untuk dijelaskan. Dengan demikian, metode ini memberikan prediksi sifat kolektif dari kumpulan sub-unit. Kritik yang dilontarkan oleh ilmuwan pada metode ini menyangkut keabsahan penggunaan metode fisika pada masalah-masalah sosial yang dikatakan memiliki jumlah sub-unit sangat terbatas.
Di dalam termodinamika, di mana fisika statistik sangat sukses untuk menjelaskan fenomena alam, jumlah sub-unit yang dibahas umumnya dapat mencapai angka sepuluh pangkat dua puluh (ada dua puluh angka nol setelah angka satu). Meski demikian, simulasi-simulasi komputer untuk gas dan zat cair sudah menunjukkan hasil yang sangat memuaskan untuk sistem yang terdiri dari 20 hingga 30 atom saja, yang menunjukkan bahwa metode ini sudah dapat bekerja untuk sistem-sistem kecil.
Kritik lain adalah menyangkut perbedaan antara manusia dan sistem partikel (elektron, nukleon, atom, atau molekul) yang dibahas fisika statistik, karena manusia dikatakan memiliki daya adaptasi terhadap fluktuasi-fluktuasi ekonomi, sedangkan kumpulan partikel akan terus patuh mengikuti hukum alam jika terjadi fluktuasi pada keadaan di sekitarnya. Kritik ini ternyata tidak sepenuhnya benar, karena penelitian dengan metode fisika statistik ternyata cukup sukses jika diterapkan pada masalah non-coding DNA, inflasi paru-paru manusia, interval denyut jantung, bahkan pada masalah perkembangan kota dan beberapa sifat hewan, yang tentu saja memiliki daya adaptasi tersendiri untuk mengantisipasi perubahan yang terjadi dengan lingkungannya.
Saat ini, analisis data di dalam ekonofisika kebanyakan dipusatkan pada indeks S&P 500, salah satu indeks pada bursa saham di New York yang terdiri dari 500 perusahaan terkemuka yang dianggap sebagai representasi dari ekonomi Amerika. Data yang dianalisis biasanya berjangka waktu lebih dari 10 tahun dengan frekuensi sampel hingga satu menit. Data lain yang dipakai adalah harga-harga saham di berbagai negara, harga tukar dollar AS terhadap beberapa jenis mata uang, dan bahkan GDP tiap-tiap negara. Secara umum data-data tersebut memperlihatkan tendensi kenaikan dengan fluktuasi tajam berfrekuensi tinggi di beberapa titik.
Dari data-data tersebut banyak hal yang dapat diselidiki. Pertama, dan mungkin yang paling intensif, adalah sifat time-scaling. Lebih dari 30 tahun yang lalu Mandelbrot menemukan bahwa distribusi keuntungan penjualan katun untuk selang waktu yang berbeda memperlihatkan bentuk fungsi yang mirip. Sifat ini dinamakan para peneliti sebagai sifat time-scaling. Time-scaling ternyata juga ditunjukkan oleh indeks S&P 500 setelah diteliti untuk frekuensi sampel antara satu menit hingga satu bulan. Sampai sekarang, sifat ini dipercaya merupakan fenomena universal dari sistem-sistem kompleks, dengan sektor ekonomi merupakan salah satu elemennya. Untuk memperkuat dugaan ini para peneliti juga mempelajari indeks saham-saham lain seperti indeks NIKKEI dan Hang Seng. Fenomena yang sama juga teramati untuk kedua jenis indeks saham tersebut.
Aspek lain yang cukup menarik untuk diteliti adalah volatility. Volatility menunjukkan peluang suatu saham untuk berfluktuasi yang dapat dihubungkan dengan jumlah informasi masuk setiap saat. Volatility dapat diperkirakan misalnya dari harga absolut keuntungan rata-rata. Secara umum hasil-hasil penelitian ekonofisika memperlihatkan bahwa distribusi kumulatif volatility menunjukkan sifat asimptotik power-law. Dari sekitar 16.000 saham di Amerika yang diamati, kelompok Universitas Boston, MIT, dan Universitas Chicago menemukan analogi antara volatility saham dengan proses difusi klasik dari penyebaran tumpahan tinta yang ditentukan oleh dua kuantitas mikroskopik yaitu frekuensi tumbukan antarpartikel (yang dalam hal ini analog dengan saham) dan dampak dari tumbukan tersebut. Meski demikian, analogi tersebut tidak benar-benar eksak karena pergerakan harga saham bersifat difusi kompleks.
Korelasi silang antarsaham juga merupakan bagian menarik dari analisis data. Tidak diragukan lagi jika dua perusahaan di dunia ini saling berkorelasi. Bahkan, dua perusahaan dari sektor yang berbeda sekalipun dapat berkorelasi melalui korelasi tidak langsung. Mungkinkah kita meneliti korelasi ratusan atau ribuan saham dari sektor yang berbeda, sedangkan interaksi antara dua saham sendiri tidak dapat sepenuhnya dijelaskan?
Jawabannya telah diberikan oleh Wigner, seorang ahli fisika nuklir (inti atom), pada tahun 1950. Saat itu para ahli nuklir sedang kebingungan ketika dihadapkan dengan melimpahnya data spektrum energi dari nukleus-nukleus kompleks, karena tidak ada satu pun model yang dapat menjelaskan data-data tersebut.
Wigner memecahkan masalah ini dengan menganggap bahwa interaksi antarnukleon (penyusun inti atom) sudah sangat kompleks dan tidak dapat dimengerti lagi sehingga dapat diangggap bersifat acak (random). Di dalam teori fisika interaksi dalam suatu sistem dinyatakan dengan operator Hamiltonian. Wigner kemudian mengusulkan bahwa Hamiltonian yang menjelaskan sistem nukleus kompleks berbentuk matriks dengan elemen-elemennya merupakan bilangan-bilangan acak independen. Dengan cara ini Wigner akhirnya sukses menjelaskan spektrum-spektrum energi yang teramati oleh eksperimen nuklir saat itu.
Kesulitan utama dalam menguantisasi korelasi antarsaham dikarenakan oleh tidak adanya algoritma yang pasti untuk menghitung kekuatan interaksi antarperusahaan. Tidak seperti di dalam dunia fisika, di sini interaksi alami yang akurat tidak pernah diketahui. Lagi pula, korelasi di bidang finansial biasanya melibatkan satu cluster perusahaan dan selalu berubah terhadap waktu sehingga hanya korelasi rata-rata yang dapat diperkirakan.
Teori matriks acak (TMA) dari Wigner memperkirakan nilai rata-rata dari semua interaksi yang mungkin. Dengan demikian, penyimpangan terhadap prediksi TMA menandakan adanya sifat-sifat tidak acak di dalam sistem yang pada akhirnya memberi petunjuk tentang interaksi sebenarnya. Dengan kata lain, deviasi tersebut menggambarkan sifat-sifat kolektif yang dimiliki sistem. Penelitian yang dilakukan oleh grup Boston terhadap sekitar 1.000 saham di Amerika menunjukkan gejala-gejala kolektif tersebut.
Hal ini berarti bahwa secara global hampir setiap perusahaan mempengaruhi dan dipengaruhi perusahaan-perusahaan lain, yang secara bersama-sama bergerak kolektif menentukan maju mundurnya pasar saham.
Model ekonofisika
Model-model ekonomi juga bukan benda asing bagi para ekonom. Di sini, beberapa peneliti ekonofisika berusaha mengembangkan model-model sistem ekonomi dengan memanfaatkan pengetahuan yang ada di dalam dunia fisika selain fisika statistik. Salah satu dari sekian banyak kegiatan di sektor ini adalah upaya memperbaiki dan memecahkan persamaan Black-Scholes dengan tambahan-tambahan informasi yang diperlukan.
Para akademisi, termasuk peraih Nobel ekonomi Paul Samuelson, berusaha keras memperbaiki model tersebut. Dengan bantuan Robert Merton, pada tahun 1973 Fischer Black dan Myron Scholes menghadirkan formula option pricing dalam bentuk persamaan diferensial yang dapat membantu para pialang saham menentukan apakah sebuah option terlalu mahal atau sebaliknya terlalu murah relatif terhadap harga saham pada saat itu. Patut dicatat bahwa Fischer Black memiliki latar belakang fisika dan matematika sedangkan Robert Merton memperoleh gelar master pada bidang matematika terapan. Merton dan Scholes akhirnya dianugerahi hadiah Nobel ekonomi untuk kontribusi mereka dalam bidang finansial pada tahun 1997.
Option merupakan produk derivat dalam ekonomi dan menyatakan hak seseorang (namun bukan kewajiban) untuk membeli saham atau aset lainnya dengan harga tertentu sebelum atau pada saat yang telah dijadwalkan. Ada banyak option yang dikenal di pasar finansial, namun contoh yang paling sederhana adalah jenis call-option.
Pada call-option, misalnya, kita harus membayar sebesar Rp 10 saat ini guna mendapatkan hak untuk membeli saham (yang saat ini berharga Rp 90) seharga Rp 100 enam bulan lagi. Jika harga saham tersebut dalam enam bulan meningkat menjadi Rp 120 kita dapat langsung menjualnya dengan keuntungan Rp 10 setelah dikurangi biaya option, yang berarti kita memperoleh keuntungan sebesar 100 persen. Bandingkan dengan jika kita membeli saham tersebut seharga Rp 90 kemudian menjualnya dengan harga Rp 120 yang setara dengan keuntungan 30 persen saja. Namun, jika harga saham tersebut dalam enam bulan tidak lebih dari Rp 100 kita kehilangan Rp 10 biaya option tadi.
Option memunculkan dua pertanyaan mendasar yaitu berapa harga yang pantas untuk dikeluarkan oleh pembeli option serta strategi apa yang harus dipasang oleh penulis option berkaitan dengan jumlah saham yang harus ia beli atau jual selama kontrak option berlangsung guna meminimalkan risiko kerugian. Kedua pertanyaan tersebut diakomodir oleh formula Black-Scholes sehingga formula tersebut bertindak seperti lingua franca bagi semua pemain di pasar saham.
Para pialang saham di Wall Street saat itu sangat menyukai formula Black-Scholes karena sangat mudah untuk diprogram ke dalam sebuah kalkulator. Malangnya, rumus tersebut juga dibangun atas dasar yang tidak realistik karena formula Black-Scholes memiliki input laju pertumbuhan bunga (interest) konstan serta mengasumsikan distribusi perubahan harga saham yang berbentuk Gaussian.
Salah seorang dari sekian banyak fisikawan yang berkecimpung di bidang ini adalah Emanuel Derman, kepala bagian strategi kuantitatif pada Goldman Sachs. Setelah mendapatkan doktor fisika untuk interaksi lemah partikel dari Universitas Columbia pada tahun 1973, Derman melanjutkan riset pasca doktoralnya di Universitas Pensylvania dan Universitas Oxford dengan topik riset produksi quark. Namun, pada tahun 1980 ia memutuskan untuk keluar dari fisika dan bekerja sama dengan Fischer Black di Goldman Sachs. Derman mengaku bahwa ia tidak terlalu berprestasi di dalam fisika meski ia sangat mencintai fisika. Tugas utama Derman di Goldman Sachs adalah memperbaiki persamaan asli Black-Scholes dengan memasukkan aspek-aspek yang dapat memperhitungkan crash pada bursa saham.
Di Universitas Birmingham Inggris, fisikawan Kirill Ilinski menggunakan teori elektrodinamika kuantum Feynman untuk mendesain model dinamika pasar saham. Bahkan, dengan konsep kuantum tersebut ia mengklaim dapat menurunkan persamaan Black-Scholes. Untuk melompat dari dunia kuantum ke pasar saham Ilinski mengganti medan elektromagnetik yang mengatur interaksi antarpartikel bermuatan dengan medan arbitrage yang menjelaskan perubahan harga option serta saham sebagai fungsi waktu. Meski tidak semua orang setuju jika dinamika ekonomi dapat sepenuhnya diparalelkan dengan dunia fisika, Ilinski yakin dapat menjelaskan fluktuasi-fluktuasi yang terjadi di dunia ekonomi.
Tidak jauh dari kita, fisikawan di Universitas Nasional Singapura Belal Baaquie menggunakan manipulasi matematika untuk mengubah persamaan Black-Scholes menjadi persamaan yang mirip dengan persamaan diferensial Schroedinger yang merupakan persamaan dasar di dalam mekanika kuantum nonrelativistik. Hampir semua fisikawan memiliki keahlian dalam memecahkan persamaan Schroedinger untuk bermacam-macam potensial interaksi (antarkonstituen di dalam sistem).
Salah satu teknik yang dipelajari oleh beberapa peneliti (termasuk Baaquie) adalah dengan memanfaatkan metode integral lintasan yang dikembangkan oleh Richard Feynman pada tahun 1940-an untuk menghitung peluang transisi suatu sistem dari satu titik ke titik lain dengan cara menjumlahkan semua lintasan yang mungkin. Teknik integral lintasan sangat menguntungkan jika solusi analitik dari persamaan diferensial sulit untuk ditemukan. Semakin kompleksnya pasar saham serta derivatnya seperti option membuat persamaan Black-Scholes yang sudah dimodifikasi dan sarat dengan informasi menjadi semakin rumit dan semakin sulit untuk dicari solusinya. Teknik integral lintasan ternyata sangat membantu dalam hal ini.
Di Belgia, fisikawan Marcel Ausloss dari Universitas Liege menyelidiki hipotesis kesetimbangan di dalam pasar dengan menggunakan persamaan Boltzmann, suatu persamaan yang dikenal dalam teori kinetik gas untuk menghitung evolusi kerapatan peluang sebagai fungsi waktu. Ausloos menggunakan persamaan tersebut untuk menurunkan teori kinetik bagi harga saham. Dengan menggunakan teori tersebut ia menunjukkan bahwa hipotesis tradisional untuk equilibrium market mengandung distribusi Gaussian yang tidak realistik. Menurutnya, model tersebut masih harus disempurnakan dengan memasukkan pertimbangan faktor difusi, viskositas, serta kuantitas-kuantitas mekanika fluida lainnya ke dalam model.
Berbagai model lain juga dikembangkan, misalnya teknik diagram Feynman, salah satu teknik yang dikembangkan oleh Feynman untuk menghitung peluang interaksi pada proses reaksi tumbukan antara dua partikel juga dipelajari kemungkinannya untuk menjelaskan peluang-peluang interaksi di dalam ekonomi. Proses-proses lain seperti reaksi-difusi serta pembakaran (combustion) juga tak luput menjadi objek penelitian para ekonofisikawan.
Kelemahan fisikawan
Harus diakui bahwa meskipun persamaan Black-Scholes dapat dengan mudah diprogram ke dalam sebuah kalkulator, matematika yang mendasari persamaan tersebut adalah kalkulus stokastik, satu cabang matematika yang jelas bukan merupakan mata kuliah standar pada program MBA. Fisikawan di sini dihargai karena memiliki kemampuan matematika dan komputasi yang dapat bersaing serta kemampuan untuk menganalisis problem-problem sistem yang luar biasa kompleks.
Namun, bukan berarti fisikawan tidak menghadapi masalah begitu memasuki dunia bisnis. Misalnya, banyak institusi finansial yang mempekerjakan fisikawan kadang-kadang malah khawatir. Mereka berharap agar karyawan yang satu ini tidak berpikir bahwa pasar saham dikendalikan oleh hukum-hukum alam yang tidak pernah berubah. Uranium 238 selalu meluruh menjadi uranium 234, namun fisikawan harus sadar bahwa pasar dapat bergerak naik ataupun turun, kata mereka. Pasar berbeda dengan matematika karena tidak ada model matematika yang mampu mengakomodasi semua faktor yang dapat menimbulkan gejolak pada pasar.
Bahkan beberapa institusi finansial mengeluhkan kerugian akibat penggunaan model yang tidak tepat. Menurut perhitungan Capital Market Advisors, kerugian akibat model sendiri mencakup hingga 40 persen dari kerugian total senilai 2,65 milyar dollar AS yang hilang pada tahun 1997, termasuk di antaranya adalah kerugian yang diderita oleh Union Bank di Swiss sebesar 240 juta dollar AS.
Di Indonesia
Tentu saja penelitian ekonofisika akan luar biasa menarik jika dapat dilakukan di Indonesia, karena fluktuasi ekonomi yang terjadi sangat sering dan bahkan cenderung bersifat dramatis. Seiring dengan menguatnya rupiah serta indeks saham IHSG setelah krisis moneter peluang untuk mengembangkan bidang penelitian ini cukup cerah. Lagi pula, bidang ini masih tergolong baru sehingga kesempatan kita untuk berperan di dalam komunitas berskala internasional masih terbuka lebar. Belum ada teori dasar yang kokoh seperti teori klasik Newton atau teori kuantum Schroedinger dan Dirac yang harus dipatuhi di bidang ini. Apalagi Indonesia termasuk negara yang paling sering disebut-sebut dalam jurnal ekonofisika meski belum ada orang Indonesia yang masuk ke dalam komunitas ilmiah tersebut.
Melihat realitasnya, bukan hanya harga saham yang menarik untuk diteliti di Indonesia, masih banyak aspek ekonomi lain yang cukup unik dan hanya terjadi di Indonesia, misalnya fluktuasi kurs rupiah terhadap dollar Amerika, laju inflasi rupiah, distribusi kredit untuk pengusaha kecil, rentannya sektor real estat di negara ini, atau ukuran serta proses perkembangan perusahaan-perusahaan di Indonesia, yang tentu saja sangat berbeda dengan kasus negara-negara maju.
Kesulitan pertama yang mungkin akan dihadapi adalah kesediaan serta akurasi data yang dapat diperoleh. Bidang statistik dari ekonofisika memerlukan jumlah data yang cukup banyak dan akurat, misalnya penelitian yang dilakukan oleh grup Boston untuk mempelajari volatility saham menggunakan data dari sekitar 16.000 saham yang direkam selama 35 tahun, mulai tahun 1962 hingga tahun 1996.
Dukungan dana untuk penelitian bidang ini mungkin juga akan dipertanyakan. Namun, jika kendala-kendala tersebut dapat diatasi, penelitian di bidang ini dapat kembali menggairahkan penelitian-penelitian di departemen fisika di universitas-universitas kita, karena sudah bukan merupakan rahasia lagi kalau dosen-dosen fisika tidak terlalu “makmur” dibandingkan dengan kolega-koleganya, sedangkan minat siswa-siswa SMU untuk memilih jurusan fisika relatif masih sangat rendah dibandingkan dengan jurusan lain karena image fisika yang sulit dan sulit pula mencari pekerjaan, meski kedua hal terakhir ini sudah sering sekali dibuktikan tidak benar!
(Terry Mart Staf pengajar dan peneliti pada jurusan Fisika FMIPA UI serta visiting researcher pada Center for Nuclear Studies, Department of Physics, George Washington University, Washington DC, USA).